Social Icons

Pages

Kamis, 05 Juli 2012

contoh tugas seorang JURNALISTIK pertelevisian di Bandung

syarat syarat menjadi seorang jurnalis


Menjadi wartawan apakah harus sarjana jurnalistik? Belum tentu. Sebab, hanya saja yang mensyaratkan gelar sarjana jurnalistik saat membuka lowongan kerja bagi wartawan baru.

Bahkan, media sebesar suratkabar Kompas, majalah Tempo, atau stasiun Metro TV tidak pernah menyebutkan syarat sarjana jurnalistik; yang penting sarjana, biasanya S1, dari fakultas apapun. Sebagian besar wartawan media, mulai tingkat reporter hingga redaktur, bukan sarjana jurnalistik. Titel mereka dari berbagai disiplin ilmu, mulai sarjana ekonomi hingga sarjana teknik.

Media di negara-negara barat justru tidak terlalu peduli dengan embel-embel sarjana. Media raksasa multi-format, National Geographic [NG], berani membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk satu liputan mendalam yang dikerjakan kontributor — wartawan freelance yang tidak terikat sama sekali dengan NG — tanpa mensyaratkan kontributor harus sarjana; yang penting adalah karyanya, bukan deretan gelar akademisnya.

Berikut adalah delapan syarat menjadi wartawan. Nomor 1 sampai 6 disarikan dari buku Menggebrak dunia wartawan [1993, Kurniawan Junaedhie] ditambah pengalaman

1. Tidak alergi terhadap teknologi. Wartawan zaman sekarang harus fasih memakai email untuk mengirim berita, alat perekam suara, kamera foto atau video, dan mencari referensi lewat Internet.

2. Punya naluri-ingin-tahu yang tinggi dan bukan penakut. Lebih bagus lagi kalau bernaluri sebagai detektif. Wartawan sering diancam karena tulisannya, tapi jangan lantas berhenti menulis.

3. Menguasai bahasa. Tentu saja yang terutama adalah bahasa Indonesia. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mampu menulis secara jelas, melainkan berputar-putar dengan “bahasa langit”, bahkan beberapa di antaranya adalah “wartawan senior” yang sudah 20-30 tahun bekerja.

4. Santun dan tahu etika. Aku kerap melihat wartawan yang memaksa masuk ke ruangan pejabat dan langsung duduk padahal si pejabat sebenarnya belum bersedia menerima karena masih ada tamu atau pekerjaannya yang lain. Ada juga wartawan yang mewawancarai narasumber dengan bahasa memaksa, mendesak bagai polisi. Boleh saja meliput peristiwa seperti demo atau lomba tarik tambang dengan memakai celana pendek, tapi jangan berkaus oblong saat meliput sidang pengadilan atau masuk ke kamar kerja gubernur.

5. Disiplin pada waktu. Wartawan tidak boleh menulis berdasarkan mood seperti halnya seniman, karena redaksi dibatasi deadline untuk menerbitkan berita. Sering wartawan-magang gagal diterima karena selalu telat menyetor berita. Bila kau tergantung pada mood, maka pilihlah menjadi wartawan lepas atau bloger.

6. Berwawasan luas. Untuk hal ini, sejak dulu aku sepakat bahwa penulis yang baik harus lebih dulu menjadi pembaca yang baik. Banyak wartawan daerah yang tidak mau membaca media nasional, buku-buku populer, atau mengorek isi Internet; mereka hanya membaca korannya sendiri, itupun cuma untuk melihat “beritaku terbit nggak, nih.”

7. Jujur dan independen. Memangnya ada wartawan yang tidak jujur? Banyak, terutama di daerah. Berita bisa direkayasa sesuai pesanan narasumber. Seratusan orang demo bisa muncul di koran sebagai seribuan orang. Bupati diadukan korupsi, berita yang muncul menjadi “Ada LSM yang ingin membuat rusuh Tobasa.”

Memangnya ada wartawan tidak independen? Ini paling banyak, bahkan di Jakarta sekalipun. Harian terbesar Amerika, Washington Post, menetapkan syarat bagi wartawannya: “Lepaskan dulu jabatanmu di parpol, baru bergabung dengan koran ini.” Di Balige, kabupaten lain, Medan, provinsi lain, kujamin banyak wartawan yang aktif di partai politik.

8. Memperlakukan profesi wartawan bukan semata-mata demi uang. Profesi kuli-tinta sering disandingkan dengan seniman. Ia adalah sosok idealis, yang bekerja tidak melulu karena gaji tinggi. Pengacara bisa saja menolak bekerja kalau kliennya tidak mampu membayar tarif sekian rupiah. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mau menulis karena narasumbernya tidak memberikan uang seperti diminta si wartawan.

“Dia minta dua juta supaya beritanya terbit di halaman satu. Aku tidak punya uang sebanyak itu, ya sudah, mending kukasih Rp100 ribu ke wartawan mingguan, terbit di halaman dalam pun tidak apa-apa,” kata seorang anggota DPRD padaku suatu ketika. Jangan kaget bila pejabat dan pengusaha di daerah sering berkata, “Lae, bayar berapa untuk menerbitkan berita jadi headline?” Dan jangan kaget pula bahwa pertanyaan itu justru ditujukan pada wartawan koran-koran harian beroplah besar.

Dari 12 syarat yang tercantum pada buku Kurniawan Junaedhie, tidak ada satu pun menyinggung titel kesarjanaan. Pada 50 lebih buku jurnalisme yang pernah kubaca, titel sarjana jurnalistik juga tidak pernah disebut sebagai salah satu syarat menjadi wartawan. Mungkin bagi orang awam hal ini akan terdengar ganjil. Tapi begitulah yang terjadi di media pers: Yang dicari adalah orang yang mampu menulis, bukan orang yang pernah kuliah jurnalisme.

Jadi, kalau kau adalah seorang sarjana yang baru tamat tapi bukan dari program jurnalistik, kau tetap punya peluang besar jadi wartawan. Lihatlah lowongan di media-media lokal maupun nasional. Bahkan bila kau bukan sarjana, kau pun tetap bisa jadi wartawan, walaupun peluangnya lebih kecil. Pengalaman pribadiku di bawah ini mungkin bisa memberimu semangat dan inspirasi.

Pada 1999 aku memasukkan lamaran ke harian Medan Ekspres — kini bernama Sumut Pos — koran milik Jawa Pos. Aku tahu koran itu mensyaratkan sarjana, tapi aku nekat. Sekretaris redaksi yang menerima berkas lamaranku berkata, “Nanti kusampaikan, bang, tapi sebenarnya harus sarjana, lho.” Kujawab: “Aku tahu. Tapi sampaikan saja dulu sama Pemred.”

Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan pemimpin redaksinya, Abdul Haris Nasution — kalau aku tidak lupa namanya — yang pernah bekerja di majalah Tempo. Sore itu, di kantor redaksi, dia membuka-buka berkas lamaranku. Dia memelototi sejumlah contoh beritaku yang pernah terbit di koran-koran tempatku bekerja sejak 1995. “Ini foto-foto jepretanmu sendiri?” katanya, menunjuk beberapa gambar bentrok Brimob dengan warga Balige yang demo menolak PT Indorayon; antara lain foto seorang Brimob sedang mengarahkan senjata pada seorang warga yang berlindung di balik papan di depan kedainya, dan foto warga lain yang jemarinya putus ditembak Brimob.

“Benar, fotoku sendiri,” jawabku.

“Kami pakai dulu foto ini, ya,” katanya lagi, lalu memanggil tiga orang redaktur, yaitu Syaiful Ishak [kini petinggi di kantor Graha Pena Medan], Yulhasni, dan satu lagi aku tidak ingat. “Bagaimana anak ini menurut kalian? Aku suka, aku ingin dia bekerja di koran kita. Tapi dia bukan sarjana,” kata Nasution.

Akhirnya aku diterima, dengan syarat: Aku harus mengirim minimal tiga berita setiap hari dari Balige, dan beritaku harus layak jadi berita utama di halaman daerah, bahkan aku mesti berusaha menembus halaman satu. Enam bulan masa magang berlalu, aku lolos. Bahkan tidak lama kemudian, pemred berikutnya, Choking Susilo Shakeh, mempromosikanku menjadi redaktur.

Terkadang, pada minggu-minggu pertama, aku merasa minder dan “tidak nyaman” di kantor karena kawan-kawanku redaktur adalah sarjana. Tapi mereka teman-teman yang baik dan peduli. Singkat cerita, kemudian aku harus mengundurkan diri dari jabatan redaktur karena pindah domisili ke Palembang. Setelah itu aku bekerja di beberapa koran, majalah, dan menjadi stringer untuk Biro Foto Antara, sebelum mengundurkan diri dari koran terakhir, Harian Global, lalu pada Maret 2007 menjadi penulis web mengelola Blog Berita ini.

“Tunjukkan pada dunia APA yang bisa kaulakukan, bukan SIAPA kau.”


( sumber : http://www.eocommunity.com/showthread.php?tid=20967

Peran Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Masalah Kesejahteraan Pekerja Pers


Pengantar
Dinamika proses politik Indonesia selama puluhan tahun sejak era Soekarno, era Soeharto, kini telah mengantar kita pada suatu era baru yang oleh banyak orang disebut Era Reformasi. Terlepas dari benar tidaknya istilah “era reformasi” itu, yang jelas sistem dan kebijakan politik kini sudah mengalami banyak perubahan yang signifikan. Karena perubahan-perubahan politik itulah maka sistem pers pun turut berubah – sebagai dampaknya. Jika di kedua era sebelum ini telah terjadi banyak pembredelan maupun pembungkaman terhadap pers oleh pemerintah, demi alasan “stabilitas nasional”, sekarang situasinya sudah berbeda. Boleh dibilang, pers Indonesia dewasa ini sangat bergairah. Bahkan, karena perizinan sudah ditiadakan dan pemerintah dilarang untuk mengintervensi pers (sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999), pers baru pun bermunculan satu demi satu, cepat dan pesat, bagaikan jamur di musim hujan.[1] Para penerbit pers baru itu seakan tak hirau bahwa dewasa ini sedang terjadi krisis moneter dan ekonomi, yang membuat harga kertas meningkat dan daya beli masyarakat menurun. Tak heran jika dalam waktu yang tak terlalu lama pula, satu demi satu pers baru tersebut berguguran.
Namun, kemauan para pemodal untuk turut berpartisipasi dalam penerbitan pers, secara moral, sesungguhnya patut diacungi jempol. Sebab, pertama, bisnis pers merupakan bisnis yang sangat spekulatif dan riskan. Jadi, kemauan para pemilik modal untuk berinvestasi dalam bisnis ini, meski belum tentu bisa dapat profit (bahkan sangat mungkin akan rugi), patut dihargai. Kedua, dengan demikian, si pemilik modal telah melayani hak setiap warga negara untuk tahu (right to know) dan memperoleh informasi (right to information).
Itulah sisi eksternal dari pers: melayani kepentingan masyarakat. Namun, pers juga punya sisi internal: keinginan untuk berkembang dan menghasilkan profit bagi dirinya (si pemilik modal maupun orang-orang yang bekerja untuk pers tersebut). Jadi, selalu ada dua sisi dalam penerbitan pers yang harus diperhatikan oleh pihak pemilik pers maupun orang-orang yang bekerja untuk pers itu. Keduanya tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Pers harus melayani masyarakat, namun pers juga harus untung supaya tidak mati. Untuk dapat mencapai sukses di kedua sisi tersebut jelas tidak mudah. Karena itulah maka wacana-wacana dalam rangka mencari kiat-kiat sukses di kedua sisi pers itu sangat perlu digulirkan terus-menerus.
Situasi Pers di Indonesia Dewasa Ini
Telah disebut di atas bahwa sistem pers di Indonesia pasca-Soeharto telah banyak berubah. Kini kalangan insan pers benar-benar “menikmati” apa yang disebut sebagai kebebasan pers. Sejak era Habibie, media cetak khususnya, tumbuh bak jamur di musim hujan. Hal itu terlihat, misalnya, dengan dikeluarkannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebanyak 825, dengan rincian sebagai berikut: majalah 222 buah, tabloid 443 buah, dan suratkabar 184 buah.[2] Tak ketinggalan pula munculnya berbagai organisasi kewartawanan baru (sekitar 24 buah), yang di era Orde Baru hanya ada wadah tunggal bernama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia ). Masuk ke era Abdurrahman Wahid, kebebasan pers semakin meningkat, karena kebijakan SIUPP dihapuskan. Maka, media cetak pun semakin bertambah jumlahnya. Demikian pula dengan media audio-visual, antara lain dengan munculnya TV7 (kini Trans7), Lativi, TransTV, GlobalTV, ElshintaTV (masih siaran percobaan), O Channel, dan lainnya (termasuk stasiun-stasiun televisi daerah). Acaranya pun beragam, dan hampir semuanya tak ketinggalan menayangkan berita atau acara yang bernuansa sosial politik – baik dalam bentuk liputan, laporan, talkshow dan lain-lain. Sementara media elektronik (audio), dua yang menonjol dalam pemberitaan dan acara-acara bernuansa sosial politik di era pasca-Soeharto adalah Elshinta dan Namlapanha (radio-radio lain pun, meski sejatinya bukan radio berita, kemudian ikut-ikutan menjadi radio berita dan dialog interaktif bernuansa sosial politik).
Perubahan lain adalah dibubarkannya Departemen Penerangan; lembaga negara yang di era Orde Baru berperan sebagai perpanjangan tangan rezim Soeharto yang sangat digdaya dalam mengontrol pers. Akibatnya jelas: semakin bebaslah pers Indonesia . Namun, seperti apa penilaian masyarakat dewasa ini terhadap wajah pers Indonesia yang telah semakin bebas itu? Sudah tentu ada banyak penilaian. Ada yang mengeluh, karena banyak pers Indonesia kini yang tak lebih dari sekedar “tong sampah”, tempat di mana segala sumpah-serapah seseorang atau kelompok tertentu ditampung. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan publik, tapi untuk mempermalukan atau membunuh karakter seseorang atau kelompok tertentu, yang dipandang berseberangan secara politik.
Ada juga yang menilai pers telah berubah menjadi “provokator”. Terutama ketika pers memberitakan tentang konflik berdimensi etnis. Misalnya, yang terjadi antara masyarakat Madura dan Dayak di Kalimantan, serta konflik antarumat beragama yang berbeda di Maluku. Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi, justru sebagai issue intensifier. Pers memunculkan isu atau konflik dan kemudian mempertajamnya. Soal materi liputan, ada juga kritik yang mengatakan bahwa pers terlalu banyak “mengobok-obok” urusan domestik seseorang. Terutama, jika berhubungan dengan isu skandal para pejabat.
Ada lagi sebagian masyarakat yang menilai kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers”. Misalnya, maraknya penerbitan pornografi, penyebaran berita yang provokatif, character assassinationterhadap tokoh publik, dan yang sejenisnya.[3] Syamsul Muarif (mantan Menkominfo) juga berpendapat bahwa pers telah membuat berita-berita yang tidak lagi faktual, tapi menjadi provokatif karena sudah diskenariokan untuk kepentingan tertentu (Suara Pembaruan, 22/12 /01). Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah, karena profesi jurnalis adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktik dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non-jurnalistik. Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian” semakin sulit dibedakan. Termasuk mana pers yang “jadi-jadian” dan mana pers yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunakan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non-jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi ini menjadi penuh bopeng.
Terkait dengan uraian di atas, ada beberapa wajah pers yang tidak ideal – yang tentu saja harus kita hindarkan: 1) pers yang tidak peka jender; 2) jurnalisme perang; 3) anarki kata-kata; 4) jurnalisme prasangka. Yang dimaksud dengan itu, intinya adalah pers yang isi berita dan gaya penulisannya cenderung menimbulkan keresahan, ketegangan, pelecehan, dan hal-hal negatif lainnya. Maka, sebagai gantinya, kita harus mengembangkan pers dengan mengedepankan: 1) jurnalisme empati; 2) jurnalisme damai. Yang dimaksud dengan itu, intinya adalah pers yang isi berita dan gaya penulisannya berupaya untuk membangun solidaritas, simpati, keadilan, dan hal-hal lain yang positif.[4]
Pentingnya Peran Pers
Sebelum membahas lebih jauh tentang kedua sisi pers itu, kita soroti dulu pentingnya peran pers. Sebagai media informasi dan komunikasi, peran pers jelas sangat penting di dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Tak heran jika pers kini dianggap sebagai pilar keempat demokrasi (setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Untuk betul-betul dapat mewujudkan peran strategis tersebut, pers harus mampu menjaga jarak terhadap lembaga-lembaga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya), juga terhadap kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi non-negara. Hanya dengan demikianlah pers niscaya dapat memerankan dirinya secara maksimal sebagai kekuatan pengontrol, yang terus-menerus bersuara kritis. Dampaknya, antara lain, secara relatif praktik korupsi dapat dikurangi. Di samping itu, pers juga dapat memerankan dirinya sebagai sosialisator yang secara intensif dapat menyebarluaskan ide-ide dan pemikiran-pemikiran penting untuk membangun moral dan mental bangsa.[5]
Namun, upaya mewujudkan peran pers yang strategis dan ideal seperti itu tidaklah mudah. Para pekerjanya (baik redaksi maupun non-redaksi) harus betul-betul profesional dan berwawasan luas. Khususnya untuk redaksi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, hindari kecenderungan menjadi jurnalisme dinamit (dynamite journalism). Yang dimaksud dengan itu adalah laporan yang dipublikasikan media hanya membuat hingar-bingar karena terdengar lantang, tapi setelah itu sunyi-senyap.[6] Dalam perang melawan korupsi, misalnya, peran pers di Indonesia masih sebatas pemandu sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Mungkin karena wartawannya tidak menyelidiki kasus korupsi itu sendiri, melainkan hanya menunggu hasil laporan para penyelidik resmi atau partikelir. Jadi, pihak pers tidak melakukan investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi, melainkan hanya reporting on investigation. Penyebabnya, mungkin, karena kurangnya sumber daya dan sumber dana, yang membuat wartawan jarang sekali mendapatkan tugas mengungkap sebuah kasus dalam jangka waktu panjang. Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi atau bocoran sumber mengenai kasus-kasus besar yang bisa meledak di pers.
Ada lagi contoh di Afrika Selatan, dengan kecenderungan yang disebut jurnalisme meja (desk journalism). Dalam hal ini, wartawan hanya duduk di ruang redaksi untuk menerima telepon dari seseorang yang menceritakan ihwal penyimpangan, skandal atau perselingkuhan tokoh-tokoh tertentu dan menyodorkan bukti-buktinya. Berdasarkan itu kemudian dibuatlah laporan jurnalistik. Kesannya, berita tersebut merupakan “laporan investigasi”. Padahal, bukan hasil investigasi, melainkan hasil pembocoran pihak tertentu kepada wartawan.
Namun, bagaimanapun, pemberitaan-pemberitaan dengan ciri-ciri seperti di atas tetap diperlukan. Selain sebagai informasi, ia juga bisa menumbuhkan dorongan moral bagi masyarakat dan kelompok-kelompok yang berkeinginan memerangi pelbagai praktik penyimpangan dan penyelewengan. Dengan kata lain, berita tangan kedua (second hand news) tetap lebih baik ketimbang tak ada berita sama sekali.
Upaya Mengembangkan Pers
Telah disebutkan di atas bahwa pers memiliki peran yang strategis dan efektif dalam rangka membangun negara, bangsa, dan masyarakat. Karena itulah, pers perlu didukung dalam rangka pengembangannya secara kualitatif dan kuantitatif. Namun, dalam kenyataannya, relatif tak banyak pihak yang terpanggil untuk itu. Boleh jadi karena prasyarat-prasyarat untuk mengembangkannya memang sangat sulit (terutama yang menyangkut sumber daya dan sumber dana). Tetapi, herannya, mengapa untuk membangun partai politik (yang belum tentu strategis dan efektif untuk membangun negara, bangsa, dan masyarakat) ternyata banyak juga pihak yang merasa terpanggil? Padahal, untuk mempersiapkannya saja, dari segi dana sudah meminta pengorbanan yang sangat besar.[7]
Kalau begitu, mungkin persoalannya adalah: 1) melakukan upaya-upaya persuasif kepada para pemilik modal demi mencelikkan mata mereka akan penting dan strategisnya peran pers, sehingga mereka merasa terpanggil untuk memberi dukungan finansial kepada pers;[8] 2) melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat agar setiap orang menjadikan pers sebagai kebutuhan pokok yang penting dipenuhi selain “sembako”.[9]
Dengan dua poin di atas maksudnya adalah: pers harus memiliki modal yang relatif besar untuk dapat menerbitkan pers yang baik dan bermutu, pers harus mendapatkan iklan yang cukup banyak agar dapat profit, pers harus dikonsumsi sebanyak-banyaknya orang agar pihak pengiklan terdorong untuk memasang iklannya (di samping agar tirasnya juga dapat meningkat terus). Kalau profit meningkat, tentunya kesejahteraan pekerja pers juga dapat meningkat. Namun kalau tidak, bolehkah para pekerja pers melakukan “upaya-upaya lain” demi meningkatkan kesejahteraannya? Sangat mudah untuk mengatakan “tidak”, tapi sulit untuk melaksanakannya, terutama bagi pers-pers yang masih tergolong kecil secara finansial.[10] Inilah yang sampai sekarang masih terus menjadi masalah. Sungguh tak mudah mencari solusinya.
Agar pers berkembang dalam hal mutu, maka upaya-upaya pengembangan kualitas dan kompetensi para pekerja pers tentu juga penting dilakukan terus-menerus. Sekaitan itu ada sejumlah hal penting yang harus diperhatikan, terutama oleh mereka yang bekerja di bidang redaksi:
1.   Sesuai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers:
Pasal 1 ayat 10: menjaga kerahasiaan identitas sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan

Pasal 1 ayat 11: melayani hak jawab kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena suatu pemberitaan

Pasal 1 ayat 12: melayani hak koreksi kepada pihak-pihak yang ingin mengoreksi suatu pemberitaan yang dianggapnya tidak benar
2.   Sesuai SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik:
Pasal 1: bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2: menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3: menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4: tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6: tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7: melindungi narasumber yang identitasnya tidak ingin diketahui demi keamanannya; menghormati permintaan “of the record” dari narasumber sesuai kesepakatan.
Pasal 8: tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9: menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10: segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11: melayani hak jawab dan hak koreksi secara professional.
Untuk itu, tak pelak, diperlukan upaya pendidikan (baik formal maupun informal) terus-menerus bagi para pekerja pers di bidang keredaksian ini. Di sinilah letaknya peran penting lembaga atau asosiasi pers seperti Dewan Pers maupun Majelis Pers Indonesia. Pertemuan-pertemuan berkala sebagai forum lokakarya, seminar, maupun sebagai ajang bertukar pikiran-pengalaman hendaknya dapat sesering mungkin diselenggarakan. Tapi tentu saja, para pekerja pers itu sendiri harus berprakarsa aktif untuk selalu belajar secara mandiri (self-study).**
——————————–
[1] Pemerintah dewasa ini relatif tak lagi menjadi “ancaman” bagi pers, tapi sebagai gantinya muncullah “massa” — yang sewaktu–waktu bisa saja mendatangi kantor penerbitan pers karena adanya suatu pemberitaan yang dianggap tidak benar, tidak cocok dengan selera mereka, merugikan pihak tertentu, dan alasan-alasan lainnya. Ingatlah pengalaman pahit yang dialami Tempo, Playboy, dan beberapa media lainnya.
[2] Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada 1999, Departemen Penerangan, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam praktiknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya, dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah yang terbit. Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan. Data dikutip dari J. Anto, “Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas dan “Kebablasan Pers”, dalam Victor Silaen (ed.), Dari Presiden ke Presiden, Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan, Jakarta: UKI Press, 2003.
[3] Bahkan ada juga beberapa pers dewasa ini yang gemar menyoroti skandal seks orang-orang tertentu (biasanya orang-orang terkemuka), padahal tidak pernah melakukan cek-ricek sebagai upaya menyeimbangkan berita yang disebarluaskannya melalui medianya itu. Inilah, antara lain, yang dimaksud dengan “kebablasan” itu. Kebebasan telah digunakan secara sembarangan. Akibatnya, bukan hanya hukum dan kode etik yang dilanggar, tapi juga orang lain yang dirugikan.
[4] J. Anto, ibid.
[5] Muchtar Lubis, salah seorang tokoh pers Indonesia , menyebut 5 fungsi media massa yang sangat penting: pemersatu, pendidik, pengontrol, penghapus mitos dan mistik dalam cara berpikir masyarakat, sebagai forum untuk membicarakan pelbagai masalah yang dihadapi bersama. Berdasarkan itulah maka sebuah media massa seharusnya dikelola secara bertanggung jawab dalam hal menyampaikan informasi yang tepat-akurat, cermat, dapat dipercaya, yang juga dikemas dalam bahasa yang baik dan benar.
[6] T. Yulianti, “Media dan Kampanye Antikorupsi”, Suara Pembaruan, 15 Desember 2003.
[7] Sekarang ini, menyongsong Pemilu 2009, ada beberapa pihak/kelompok yang sedang bergumul untuk mempersiapkan pendirian partai politik baru. Modal yang dibutuhkan untuk itu minimal Rp 50 miliar. Mahal sekali bukan? Bayangkan, jika modal sebesar itu digunakan untuk membangun sebuah media cetak yang berkualitas tinggi, stasiun pemancar radio atau televisi swasta.
[8] Boleh jadi para pemilik modal perlu dijelaskan bahwa mereka tak perlu repot-repot melakukan sendiri penyebaran media demi mencerdaskan rakyat di daerah-daerah. Mereka cukup membantu pihak pengelola pers secara finansial, lalu pihak pengelola pers itu sendiri yang akan melakukan upaya penyebarluasan medianya secara langsung kepada rakyat.
[9] Harus diakui bahwa sampai sekarang masih banyak orang Indonesia yang belum memiliki “reading-habit”. Artinya, bukan soal tak punya uang yang membuat mereka tak rajin membaca, melainkan karena memang tak suka membaca (sehingga, kalaupun punya uang, lebih mendahulukan untuk membeli yang lain daripada membeli sesuatu untuk dibaca).
[10] Sejumlah pers besar pun, yang selalu menyosialisasikan ke publik bahwa wartawan mereka tidak diperkenankan menerima uang atau barang ketika melakukan tugas peliputan, dalam kenyataannya tetap juga ada yang melanggarnya.

Selasa, 03 Juli 2012

penyusun informasi


Informasi yang disajikan sebuah media massa tentu harus dibuat atau disusun dulu. Yang bertugas menyusun informasi adalah bagian redaksi (Editorial Department), yakni para wartawan, mulai dari Pemimpin Redaksi, Redaktur Pelaksana, Redaktur Desk, Reporter, Fotografer, Koresponden, hingga Kontributor.
Pemred hingga Koresponden disebut wartawan. Menurut UU No. 40/1999, wartawan adalah “orang yang melakukan aktivitas jurnalistik secara rutin”. Untuk menjadi wartawan, seseorang harus memenuhi kualifikasi berikut ini:
1. Menguasai teknik jurnalistik, yaitu skill meliput dan menulis berita, feature, dan tulisan opini.
2. Menguasai bidang liputan (beat).
3. Menguasai dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Teknis pembuatannya terangkum dalam konsep proses pembuatan berita (news processing), meliputi:
1. News Planning = perencanaan berita. Dalam tahap ini redaksi melakukan Rapat Proyeksi, yakni perencanaan tentang informasi yang akan disajikan. Acuannya adalah visi, misi, rubrikasi, nilai berita, dan kode etik jurnalistik. Dalam rapat inilah ditentukan jenis dan tema-tema tulisan/berita yang akan dibuat dan dimuat, lalu dilakukan pembagian tugas di antara para wartawan.
2. News Hunting = pengumpulan bahan berita. Setelah rapat proyeksi dan pembagian tugas, para wartawan melakukan pengumpulan bahan berita, berupa fakta dan data, melalui peliputan, penelusuran referensi atau pengumpulan data melalui literatur, dan wawancara.
3. News Writing = penulisan naskah. Setelah data terkumpul, dilakukan penulisan naskah.
4. News Editing = penyuntingan naskah. Naskah yang sudah ditulis harus disunting dari segi redaksional (bahasa) dan isi (substansi). Dalam tahap ini dilakukan perbaikan kalimat, kata, sistematika penulisan, dan substansi naskah, termasuk pembuatan judul yang menarik dan layak jual serta penyesuaian naskah dengan space atau kolom yang tersedia.
Setelah keempat proses tadi dilalui, sampailah pada proses berikutnya, yakni proses pracetak berupa Desain Grafis, berupa lay out (tata letak), artistik, pemberian ilustrasi atau foto, desain cover, dll. Setelah itu langsung ke percetakan (printing process).

bagian-bagian berita dalam jurnalistik


 ( Sumber : http://ahsc6.blogspot.com )

Bagian Berita

Secara umum, berita mempunyai bagian-bagian dalam susunannya yaitu

Headline.
Biasa disebut judul. Sering juga dilengkapi dengan anak judul. Ia berguna untuk: (1) menolong pembaca agar segera mengetahui peristiwa yang akan diberitakan; (2) menonjolkan satu berita dengan dukungan teknik grafika.

Deadline.
Ada yang terdiri atas nama media massa, tempat kejadian dan tanggal kejadian. . Tujuannya adalah untuk menunjukkan tempat kejadian dan inisial media.

Lead.
Lazim disebut teras berita. Biasanya ditulis pada paragraph pertama sebuah berita. Ia merupakan unsur yang paling penting dari sebuah berita, yang menentukan apakah isi berita akan dibaca atau tidak. Ia merupakan sari pati sebuah berita, yang melukiskan seluruh berita secara singkat.

Body.
Atau tubuh berita. Isinya menceritakan peristiwa yang dilaporkan dengan bahasa yang singkat, padat, dan jelas. Dengan demikian body merupakan perkembangan berita.

Unsur-Unsur Berita

Dalam Berita Harus terdapat unsur-unsur 5W 1H yaitu :

(1) What - apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
(2) Who - siapa yang terlibat di dalamnya?
(3) Where - di mana terjadinya peristiwa itu?
(4) When - kapan terjadinya?
(5) Why - mengapa peristiwa itu terjadi?
(6) How - bagaimana terjadinya?

informasi NEWS........!!!!!!!!!!!!!!


Informasi adalah pesan, ide, laporan, keterangan, atau pemikiran. Dalam dunia jurnalistik, informasi dimaksud adalah news (berita) dan views (opini).
Berita adalah laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita (news values) –aktual, faktual, penting, dan menarik. Berita disebut juga “informasi terbaru”. Jenis-jenis berita a.l. berita langsung (straight news), berita opini (opinion news), berita investigasi (investigative news), dan sebagainya.
Views adalah pandangan atau pendapat mengenai suatu masalah atau peristiwa. Jenis informasi ini a.l. kolom, tajukrencana, artikel, surat pembaca, karikatur, pojok, dan esai.
Ada juga tulisan yang tidak termasuk berita juga tidak bisa disebut opini, yakni feature, yang merupakan perpaduan antara news dan views. Jenis feature yang paling populer adalah feature tips (how to do it feature), feature biografi, feature catatan perjalanan/petualangan, dan feature human interest.
1. Straight News: berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita jenis ini,
jenis berita Straight News dipilih lagi menjadi dua macam :

a.Hard News: yakni berita yang memiliki nilai lebih dari segi aktualitas dan kepentingan atau amat penting segera diketahui pembaca.
Berisi informasi peristiwa khusus (special event) yang terjadi secara tiba-tiba.

b.Soft News, nilai beritanya di bawah Hard News dan lebih merupakan berita pendukung.

2. Depth News: berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan.

3. Investigation News: berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan dari berbagai sumber.

4. Interpretative News: berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penelitian penulisnya/reporter.

5. Opinion News: berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendekiawan, sarjana, ahli, atau pejabat,
mengenai suatu hal, peristiwa, kondisi poleksosbudhankam, dan sebagainya.

ciri khas seorang jurnalis


http://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/victografer/content/content-1349-20081021-6-34-84/large/jamaah-dan-fotografer_1349_l.jpga. Skeptis
Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.
b. Bertindak (action)
Wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.
c. Berubah
Perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.
d. Seni dan Profesi
Wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
e. Peran Pers
Pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.