Social Icons

Pages

Kamis, 05 Juli 2012

Peran Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Masalah Kesejahteraan Pekerja Pers


Pengantar
Dinamika proses politik Indonesia selama puluhan tahun sejak era Soekarno, era Soeharto, kini telah mengantar kita pada suatu era baru yang oleh banyak orang disebut Era Reformasi. Terlepas dari benar tidaknya istilah “era reformasi” itu, yang jelas sistem dan kebijakan politik kini sudah mengalami banyak perubahan yang signifikan. Karena perubahan-perubahan politik itulah maka sistem pers pun turut berubah – sebagai dampaknya. Jika di kedua era sebelum ini telah terjadi banyak pembredelan maupun pembungkaman terhadap pers oleh pemerintah, demi alasan “stabilitas nasional”, sekarang situasinya sudah berbeda. Boleh dibilang, pers Indonesia dewasa ini sangat bergairah. Bahkan, karena perizinan sudah ditiadakan dan pemerintah dilarang untuk mengintervensi pers (sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999), pers baru pun bermunculan satu demi satu, cepat dan pesat, bagaikan jamur di musim hujan.[1] Para penerbit pers baru itu seakan tak hirau bahwa dewasa ini sedang terjadi krisis moneter dan ekonomi, yang membuat harga kertas meningkat dan daya beli masyarakat menurun. Tak heran jika dalam waktu yang tak terlalu lama pula, satu demi satu pers baru tersebut berguguran.
Namun, kemauan para pemodal untuk turut berpartisipasi dalam penerbitan pers, secara moral, sesungguhnya patut diacungi jempol. Sebab, pertama, bisnis pers merupakan bisnis yang sangat spekulatif dan riskan. Jadi, kemauan para pemilik modal untuk berinvestasi dalam bisnis ini, meski belum tentu bisa dapat profit (bahkan sangat mungkin akan rugi), patut dihargai. Kedua, dengan demikian, si pemilik modal telah melayani hak setiap warga negara untuk tahu (right to know) dan memperoleh informasi (right to information).
Itulah sisi eksternal dari pers: melayani kepentingan masyarakat. Namun, pers juga punya sisi internal: keinginan untuk berkembang dan menghasilkan profit bagi dirinya (si pemilik modal maupun orang-orang yang bekerja untuk pers tersebut). Jadi, selalu ada dua sisi dalam penerbitan pers yang harus diperhatikan oleh pihak pemilik pers maupun orang-orang yang bekerja untuk pers itu. Keduanya tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Pers harus melayani masyarakat, namun pers juga harus untung supaya tidak mati. Untuk dapat mencapai sukses di kedua sisi tersebut jelas tidak mudah. Karena itulah maka wacana-wacana dalam rangka mencari kiat-kiat sukses di kedua sisi pers itu sangat perlu digulirkan terus-menerus.
Situasi Pers di Indonesia Dewasa Ini
Telah disebut di atas bahwa sistem pers di Indonesia pasca-Soeharto telah banyak berubah. Kini kalangan insan pers benar-benar “menikmati” apa yang disebut sebagai kebebasan pers. Sejak era Habibie, media cetak khususnya, tumbuh bak jamur di musim hujan. Hal itu terlihat, misalnya, dengan dikeluarkannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebanyak 825, dengan rincian sebagai berikut: majalah 222 buah, tabloid 443 buah, dan suratkabar 184 buah.[2] Tak ketinggalan pula munculnya berbagai organisasi kewartawanan baru (sekitar 24 buah), yang di era Orde Baru hanya ada wadah tunggal bernama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia ). Masuk ke era Abdurrahman Wahid, kebebasan pers semakin meningkat, karena kebijakan SIUPP dihapuskan. Maka, media cetak pun semakin bertambah jumlahnya. Demikian pula dengan media audio-visual, antara lain dengan munculnya TV7 (kini Trans7), Lativi, TransTV, GlobalTV, ElshintaTV (masih siaran percobaan), O Channel, dan lainnya (termasuk stasiun-stasiun televisi daerah). Acaranya pun beragam, dan hampir semuanya tak ketinggalan menayangkan berita atau acara yang bernuansa sosial politik – baik dalam bentuk liputan, laporan, talkshow dan lain-lain. Sementara media elektronik (audio), dua yang menonjol dalam pemberitaan dan acara-acara bernuansa sosial politik di era pasca-Soeharto adalah Elshinta dan Namlapanha (radio-radio lain pun, meski sejatinya bukan radio berita, kemudian ikut-ikutan menjadi radio berita dan dialog interaktif bernuansa sosial politik).
Perubahan lain adalah dibubarkannya Departemen Penerangan; lembaga negara yang di era Orde Baru berperan sebagai perpanjangan tangan rezim Soeharto yang sangat digdaya dalam mengontrol pers. Akibatnya jelas: semakin bebaslah pers Indonesia . Namun, seperti apa penilaian masyarakat dewasa ini terhadap wajah pers Indonesia yang telah semakin bebas itu? Sudah tentu ada banyak penilaian. Ada yang mengeluh, karena banyak pers Indonesia kini yang tak lebih dari sekedar “tong sampah”, tempat di mana segala sumpah-serapah seseorang atau kelompok tertentu ditampung. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan publik, tapi untuk mempermalukan atau membunuh karakter seseorang atau kelompok tertentu, yang dipandang berseberangan secara politik.
Ada juga yang menilai pers telah berubah menjadi “provokator”. Terutama ketika pers memberitakan tentang konflik berdimensi etnis. Misalnya, yang terjadi antara masyarakat Madura dan Dayak di Kalimantan, serta konflik antarumat beragama yang berbeda di Maluku. Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi, justru sebagai issue intensifier. Pers memunculkan isu atau konflik dan kemudian mempertajamnya. Soal materi liputan, ada juga kritik yang mengatakan bahwa pers terlalu banyak “mengobok-obok” urusan domestik seseorang. Terutama, jika berhubungan dengan isu skandal para pejabat.
Ada lagi sebagian masyarakat yang menilai kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers”. Misalnya, maraknya penerbitan pornografi, penyebaran berita yang provokatif, character assassinationterhadap tokoh publik, dan yang sejenisnya.[3] Syamsul Muarif (mantan Menkominfo) juga berpendapat bahwa pers telah membuat berita-berita yang tidak lagi faktual, tapi menjadi provokatif karena sudah diskenariokan untuk kepentingan tertentu (Suara Pembaruan, 22/12 /01). Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah, karena profesi jurnalis adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktik dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non-jurnalistik. Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian” semakin sulit dibedakan. Termasuk mana pers yang “jadi-jadian” dan mana pers yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunakan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non-jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi ini menjadi penuh bopeng.
Terkait dengan uraian di atas, ada beberapa wajah pers yang tidak ideal – yang tentu saja harus kita hindarkan: 1) pers yang tidak peka jender; 2) jurnalisme perang; 3) anarki kata-kata; 4) jurnalisme prasangka. Yang dimaksud dengan itu, intinya adalah pers yang isi berita dan gaya penulisannya cenderung menimbulkan keresahan, ketegangan, pelecehan, dan hal-hal negatif lainnya. Maka, sebagai gantinya, kita harus mengembangkan pers dengan mengedepankan: 1) jurnalisme empati; 2) jurnalisme damai. Yang dimaksud dengan itu, intinya adalah pers yang isi berita dan gaya penulisannya berupaya untuk membangun solidaritas, simpati, keadilan, dan hal-hal lain yang positif.[4]
Pentingnya Peran Pers
Sebelum membahas lebih jauh tentang kedua sisi pers itu, kita soroti dulu pentingnya peran pers. Sebagai media informasi dan komunikasi, peran pers jelas sangat penting di dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Tak heran jika pers kini dianggap sebagai pilar keempat demokrasi (setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Untuk betul-betul dapat mewujudkan peran strategis tersebut, pers harus mampu menjaga jarak terhadap lembaga-lembaga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya), juga terhadap kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi non-negara. Hanya dengan demikianlah pers niscaya dapat memerankan dirinya secara maksimal sebagai kekuatan pengontrol, yang terus-menerus bersuara kritis. Dampaknya, antara lain, secara relatif praktik korupsi dapat dikurangi. Di samping itu, pers juga dapat memerankan dirinya sebagai sosialisator yang secara intensif dapat menyebarluaskan ide-ide dan pemikiran-pemikiran penting untuk membangun moral dan mental bangsa.[5]
Namun, upaya mewujudkan peran pers yang strategis dan ideal seperti itu tidaklah mudah. Para pekerjanya (baik redaksi maupun non-redaksi) harus betul-betul profesional dan berwawasan luas. Khususnya untuk redaksi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, hindari kecenderungan menjadi jurnalisme dinamit (dynamite journalism). Yang dimaksud dengan itu adalah laporan yang dipublikasikan media hanya membuat hingar-bingar karena terdengar lantang, tapi setelah itu sunyi-senyap.[6] Dalam perang melawan korupsi, misalnya, peran pers di Indonesia masih sebatas pemandu sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Mungkin karena wartawannya tidak menyelidiki kasus korupsi itu sendiri, melainkan hanya menunggu hasil laporan para penyelidik resmi atau partikelir. Jadi, pihak pers tidak melakukan investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi, melainkan hanya reporting on investigation. Penyebabnya, mungkin, karena kurangnya sumber daya dan sumber dana, yang membuat wartawan jarang sekali mendapatkan tugas mengungkap sebuah kasus dalam jangka waktu panjang. Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi atau bocoran sumber mengenai kasus-kasus besar yang bisa meledak di pers.
Ada lagi contoh di Afrika Selatan, dengan kecenderungan yang disebut jurnalisme meja (desk journalism). Dalam hal ini, wartawan hanya duduk di ruang redaksi untuk menerima telepon dari seseorang yang menceritakan ihwal penyimpangan, skandal atau perselingkuhan tokoh-tokoh tertentu dan menyodorkan bukti-buktinya. Berdasarkan itu kemudian dibuatlah laporan jurnalistik. Kesannya, berita tersebut merupakan “laporan investigasi”. Padahal, bukan hasil investigasi, melainkan hasil pembocoran pihak tertentu kepada wartawan.
Namun, bagaimanapun, pemberitaan-pemberitaan dengan ciri-ciri seperti di atas tetap diperlukan. Selain sebagai informasi, ia juga bisa menumbuhkan dorongan moral bagi masyarakat dan kelompok-kelompok yang berkeinginan memerangi pelbagai praktik penyimpangan dan penyelewengan. Dengan kata lain, berita tangan kedua (second hand news) tetap lebih baik ketimbang tak ada berita sama sekali.
Upaya Mengembangkan Pers
Telah disebutkan di atas bahwa pers memiliki peran yang strategis dan efektif dalam rangka membangun negara, bangsa, dan masyarakat. Karena itulah, pers perlu didukung dalam rangka pengembangannya secara kualitatif dan kuantitatif. Namun, dalam kenyataannya, relatif tak banyak pihak yang terpanggil untuk itu. Boleh jadi karena prasyarat-prasyarat untuk mengembangkannya memang sangat sulit (terutama yang menyangkut sumber daya dan sumber dana). Tetapi, herannya, mengapa untuk membangun partai politik (yang belum tentu strategis dan efektif untuk membangun negara, bangsa, dan masyarakat) ternyata banyak juga pihak yang merasa terpanggil? Padahal, untuk mempersiapkannya saja, dari segi dana sudah meminta pengorbanan yang sangat besar.[7]
Kalau begitu, mungkin persoalannya adalah: 1) melakukan upaya-upaya persuasif kepada para pemilik modal demi mencelikkan mata mereka akan penting dan strategisnya peran pers, sehingga mereka merasa terpanggil untuk memberi dukungan finansial kepada pers;[8] 2) melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat agar setiap orang menjadikan pers sebagai kebutuhan pokok yang penting dipenuhi selain “sembako”.[9]
Dengan dua poin di atas maksudnya adalah: pers harus memiliki modal yang relatif besar untuk dapat menerbitkan pers yang baik dan bermutu, pers harus mendapatkan iklan yang cukup banyak agar dapat profit, pers harus dikonsumsi sebanyak-banyaknya orang agar pihak pengiklan terdorong untuk memasang iklannya (di samping agar tirasnya juga dapat meningkat terus). Kalau profit meningkat, tentunya kesejahteraan pekerja pers juga dapat meningkat. Namun kalau tidak, bolehkah para pekerja pers melakukan “upaya-upaya lain” demi meningkatkan kesejahteraannya? Sangat mudah untuk mengatakan “tidak”, tapi sulit untuk melaksanakannya, terutama bagi pers-pers yang masih tergolong kecil secara finansial.[10] Inilah yang sampai sekarang masih terus menjadi masalah. Sungguh tak mudah mencari solusinya.
Agar pers berkembang dalam hal mutu, maka upaya-upaya pengembangan kualitas dan kompetensi para pekerja pers tentu juga penting dilakukan terus-menerus. Sekaitan itu ada sejumlah hal penting yang harus diperhatikan, terutama oleh mereka yang bekerja di bidang redaksi:
1.   Sesuai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers:
Pasal 1 ayat 10: menjaga kerahasiaan identitas sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan

Pasal 1 ayat 11: melayani hak jawab kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena suatu pemberitaan

Pasal 1 ayat 12: melayani hak koreksi kepada pihak-pihak yang ingin mengoreksi suatu pemberitaan yang dianggapnya tidak benar
2.   Sesuai SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik:
Pasal 1: bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2: menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3: menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4: tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6: tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7: melindungi narasumber yang identitasnya tidak ingin diketahui demi keamanannya; menghormati permintaan “of the record” dari narasumber sesuai kesepakatan.
Pasal 8: tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9: menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10: segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11: melayani hak jawab dan hak koreksi secara professional.
Untuk itu, tak pelak, diperlukan upaya pendidikan (baik formal maupun informal) terus-menerus bagi para pekerja pers di bidang keredaksian ini. Di sinilah letaknya peran penting lembaga atau asosiasi pers seperti Dewan Pers maupun Majelis Pers Indonesia. Pertemuan-pertemuan berkala sebagai forum lokakarya, seminar, maupun sebagai ajang bertukar pikiran-pengalaman hendaknya dapat sesering mungkin diselenggarakan. Tapi tentu saja, para pekerja pers itu sendiri harus berprakarsa aktif untuk selalu belajar secara mandiri (self-study).**
——————————–
[1] Pemerintah dewasa ini relatif tak lagi menjadi “ancaman” bagi pers, tapi sebagai gantinya muncullah “massa” — yang sewaktu–waktu bisa saja mendatangi kantor penerbitan pers karena adanya suatu pemberitaan yang dianggap tidak benar, tidak cocok dengan selera mereka, merugikan pihak tertentu, dan alasan-alasan lainnya. Ingatlah pengalaman pahit yang dialami Tempo, Playboy, dan beberapa media lainnya.
[2] Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada 1999, Departemen Penerangan, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam praktiknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya, dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah yang terbit. Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan. Data dikutip dari J. Anto, “Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas dan “Kebablasan Pers”, dalam Victor Silaen (ed.), Dari Presiden ke Presiden, Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan, Jakarta: UKI Press, 2003.
[3] Bahkan ada juga beberapa pers dewasa ini yang gemar menyoroti skandal seks orang-orang tertentu (biasanya orang-orang terkemuka), padahal tidak pernah melakukan cek-ricek sebagai upaya menyeimbangkan berita yang disebarluaskannya melalui medianya itu. Inilah, antara lain, yang dimaksud dengan “kebablasan” itu. Kebebasan telah digunakan secara sembarangan. Akibatnya, bukan hanya hukum dan kode etik yang dilanggar, tapi juga orang lain yang dirugikan.
[4] J. Anto, ibid.
[5] Muchtar Lubis, salah seorang tokoh pers Indonesia , menyebut 5 fungsi media massa yang sangat penting: pemersatu, pendidik, pengontrol, penghapus mitos dan mistik dalam cara berpikir masyarakat, sebagai forum untuk membicarakan pelbagai masalah yang dihadapi bersama. Berdasarkan itulah maka sebuah media massa seharusnya dikelola secara bertanggung jawab dalam hal menyampaikan informasi yang tepat-akurat, cermat, dapat dipercaya, yang juga dikemas dalam bahasa yang baik dan benar.
[6] T. Yulianti, “Media dan Kampanye Antikorupsi”, Suara Pembaruan, 15 Desember 2003.
[7] Sekarang ini, menyongsong Pemilu 2009, ada beberapa pihak/kelompok yang sedang bergumul untuk mempersiapkan pendirian partai politik baru. Modal yang dibutuhkan untuk itu minimal Rp 50 miliar. Mahal sekali bukan? Bayangkan, jika modal sebesar itu digunakan untuk membangun sebuah media cetak yang berkualitas tinggi, stasiun pemancar radio atau televisi swasta.
[8] Boleh jadi para pemilik modal perlu dijelaskan bahwa mereka tak perlu repot-repot melakukan sendiri penyebaran media demi mencerdaskan rakyat di daerah-daerah. Mereka cukup membantu pihak pengelola pers secara finansial, lalu pihak pengelola pers itu sendiri yang akan melakukan upaya penyebarluasan medianya secara langsung kepada rakyat.
[9] Harus diakui bahwa sampai sekarang masih banyak orang Indonesia yang belum memiliki “reading-habit”. Artinya, bukan soal tak punya uang yang membuat mereka tak rajin membaca, melainkan karena memang tak suka membaca (sehingga, kalaupun punya uang, lebih mendahulukan untuk membeli yang lain daripada membeli sesuatu untuk dibaca).
[10] Sejumlah pers besar pun, yang selalu menyosialisasikan ke publik bahwa wartawan mereka tidak diperkenankan menerima uang atau barang ketika melakukan tugas peliputan, dalam kenyataannya tetap juga ada yang melanggarnya.

0 komentar:

Posting Komentar